Senin, 27 Maret 2017

Antara balas budi dan harap dimengerti

Aku menjadi mahasiswa yang sangat awam tentang negara ini,
Tapi aku menjafi mahasiswa yang sangat beruntung karena bertemu orang yang banyak mengulurkan bantuan padaku.
Waaah... terkadang hati pun menjafi tidak selesa, karena budi tak sempat terbalas.
Suatu ketika, seorang berbudi baik mengajak saya mengarungi negreri jiran dengan budged yang sangat rendah. Sungguh saya sangat tertarik dengan cost yang sangat rendah dan tempat yang sangat apik. Teringin hati pergi kesana, matapun mulai membayangkan menyelam dilautan biru, berbaring diatas pasir putih. Kapan lagi aku bisa kesana, mumpung sedang disini, kata hati merayu pergi.
Namun, sepanjang jalan pulang dari kampus hatipun berbincang, teringat uang hasil pemberian, teringat makan yang selera susah ditahan. Kamu terlalu kurang ajar, kata hati lagi bergumam pada diri. Bahkan yang memberimu uang tidak pernah menyelami lautan biru, tidak pernah bersantai diatas pasir putih, atau berkacamata hitam dengan pose berkacak pinggang.
Seketika diri gelisah, karena sebentar lagi proses pengambilan data. Disisi lain ada hati yang masi membela si baik hati sang pemberi budi untuk dibalas budinya dengan menemani ia pergi kesana,
Keesokan harinya diripun memberanikan mulut untuk menolak tawaran berbudget rendah dengan pulau hamparan laut biru berselimut pasir putih. Seseorang terlihat kecewa, kenapa diri begini? Ada perasaan tak sedap saat belum bisa membalas budi. Tapi duitpun masi tahu diri. Walaupun banyak tapi datangnya dari si pemberi.

Saya mohon minta untuk dimengerti, karena diri selalu tak puas hati dan menguasai ego sendiri.